Implikasi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 terhadap Putusan Hakim Demi Terwujudnya Penegakan Hukum yang Responsif
Oleh: Catur Alfath Satriya, S.H.
Pendahuluan
Suatu perkara di pengadilan dikatakan sudah selesai apabila hakim sudah membacakan putusannya. Secara prosedural, pembacaan putusan merupakan rangkaian terakhir dari sebuah persidangan sehingga di dalam suatu putusan masyarakat bisa melihat fakta hukum apa saja yang muncul di persidangan dan bagaimana seorang hakim mempertimbangkan fakta hukum tersebut yang kemudian disimpulkan dalam amar putusan seorang hakim. Selain itu, secara filosofis putusan hakim merupakan mahkota hakim. Ia layaknya sesuatu yang paling berharga yang dimiliki oleh seorang hakim. Oleh sebab itu, tolok ukur bagus atau tidaknya seorang hakim terletak di putusannya. Apabila putusannya mempunyai pertimbangan yang holistik dan komperhensif, maka bisa dikatakan hakim tersebut merupakan hakim yang berkualitas. Sementara itu, apabila putusan seorang hakim tidak memuat pertimbangan yang holistik dan komperhensif, maka bisa dikatakan hakim tersebut tidak berkualitas.
Secara teoritis, putusan hakim mempunyai 3 kekuatan. Pertama, kekuatan mengikat. Sebagai sebuah produk hukum yang dihasilkan oleh hakim putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap mengikat bagi para pihak yang berada di dalamnya. Kedua, kekuatan pembuktian. Putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap dapat digunakan oleh pihak sebagai alat bukti di pengadilan. Ketiga, kekuatan eksekusi. Putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap dapat dijadikan dasar hukum oleh para pihak untuk melakukan eksekusi sehingga eksekusi yang dilakukan tidak melanggar hukum.[1]
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan UU KUHP) mau tidak mau berdampak terhadap bagaimana para hakim dalam menyusun putusannya. Tulisan ini berupaya menjelaskan bagaimana seharusnya putusan hakim yang tepat ketika UU KUHP berlaku pada tahun 2026 di dalam perkara pidana.
Aspek-Aspek Penting dalam Putusan
Secara eksplisit aspek-aspek penting yang harus terdapat di dalam putusan hakim dalam perkara pidana diatur di dalam Pasal 197 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHAP). Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa putusan hakim harus terdiri dari: (1) Kepala putusan yang berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; (2) Identitas terdakwa; (3) Surat dakwaan; (4) Fakta hukum dan pertimbangan hukum; (5) Surat tuntutan; (6) Pasal yang digunakan sebagai dasar hukum putusan; (7) Keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa; (8) Hari dan tanggal dilakukannya musyawarah majelis hakim; (9) Pernyataan terpenuhinya keseluruhan unsur, kesalahan terdakwa, dan kualifikasi tindak pidana apabila terdakwa terbukti bersalah; (10) Jenis pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan kepada terdakwa; (11) Pembebanan biaya perkara; (l2) Perintah terhadap terdakwa apakah ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; dan (13) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama majelis hakim yang memutus, dan nama panitera.[2] Selain itu, secara teknis Mahkamah Agung juga mengeluarkan kebijakan terkait dengan putusan hakim yaitu Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung (selanjutnya disebut dengan SK KMA Nomor 359 tahun 2022)
Namun, format putusan sebagaimana yang diatur di dalam KUHAP dan SK KMA Nomor 359 tahun 2022 harus diperbaiki ketika UU KUHP berlaku di tahun 2026. Hal ini dikarenakan di dalam Buku I UU KUHP ada substansi-substansi baru yang akan berdampak terhadap putusan hakim terutama dalam kaitannya dengan pertimbangan hakim. Salah satu substansi baru adalah pengaturan mengenai tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan.
Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Di dalam Pasal 51 UU KUHP dijelaskan bahwa ada 3 tujuan pemidanaan yaitu: (1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat; (2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; (3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan (4) Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Selain itu, di dalam UU KUHP tujuan pemidanaan bukan untuk dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia.[3]
Kemudian, di dalam Pasal 53 UU KUHP diatur mengenai berbagai prinsip yang harus dijadikan pedoman dalam menjatuhkan pidana. Pertama, dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Kedua, jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Selain itu, di dalam Pasal 54 UU KUHP dijelaskan bahwa dalam menjatuhkan pidana hakim wajib mempertimbangkan: (a) Bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana; (b) Motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana; (c) Sikap batin Pelaku Tindak Pidana; (d) Tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan; (e) Cara melakukan Tindak Pidana; (f) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana; (g) Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana; (h) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana; (i) Pengaruh Tindak Pidana terhadap korban atau keluarga korban; (j) Pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban; dan/atau (k) Nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya, di dalam Pasal 54 ayat (2) UU KUHP hakim dibolehkan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan atau yang disebut dengan Pemaafan Hakim (Judicial Pardon).[4]
Adanya pengaturan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan menurut penulis pembuat undang-undang ingin mendorong hakim agar lebih akuntabel dalam membuat putusan. Dalam hal ini, tujuan dan pedoman pemidanaan merupakan upaya dari pembuat undang-undang agar penegakan hukum lebih responsif daripada sebelumnya. Putusan hakim sebagai muara dalam suatu penyelesaian perkara seharusnya mampu menjelaskan secara holistik dan komperhensif tentang substansi suatu perkara dan perspektif hakim dalam melihat perkara tersebut. Dalam teori hukum responsif yang dikemukakan oleh Nonet-Selznick, terdapat tiga klasifikasi hukum yang ada di masyarakat: (1) Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif); (2) Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom); dan (3) Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif)[5]. Dalam hal ini, dua ciri yang terlihat dari hukum responsif adalah: (a) Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b) Pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Apabila dikaitkan dengan teori hukum responsif, tujuan dan pedoman pemidanaan di dalam UU KUHP secara eksplisit mendorong hakim untuk lebih mempunyai kepekaan sosial terhadap perkara yang ditanganinya bukan hanya mengandalkan logika dan aturan saja (logic and rules).[6] Hal ini bisa dilihat di dalam UU KUHP bahwa tujuan pemidanaan bukan saja memberikan efek jera namun juga memulihkan keseimbangan dan melindungi masyarakat. Di dalam pedoman pemidanaan juga sama tidak hanya keadaan pelaku saja yang dipertimbangkan namun juga keadaan korban dan masyarakat harus dipertimbangkan oleh hakim agar pertimbangan hakim di dalam putusan lebih holistik dan komperhensif.
Kesimpulan
Secara normatif, aturan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan di dalam UU KUHP mendorong hakim untuk lebih akuntabel dalam membuat putusan di dalam suatu perkara pidana. Selain itu, secara substansi aturan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sudah sesuai dengan teori hukum responsif yang dikemukakan oleh Nonet-Selznick. Hal ini dikarenakan tujuan dan pedoman pemidanaan di dalam UU KUHP membuat hakim untuk lebih mempunyai kepekaan sosial terhadap perkara yang ditanganinya bukan hanya mengandalkan logika dan aturan semata.
[1] M. Sartika, “Kedudukan Putusan Pengadilan Yang sudah berkekuatan Hukum Tetap Dalam Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah,” Jurnal Sosial Humaniora Sigli, vol. 2, no. 1, pp. 71–78, Jan. 2020. doi:10.47647/jsh.v2i1.138
[2] Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76
[3] Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 1 Tahun 2023, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1
[4] Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 1 Tahun 2023, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1
[5] Arianto, Henry. "Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia." Lex Jurnalica, vol. 7, no. 2, 2010.
[6] Arianto, Henry. "Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia." Lex Jurnalica, vol. 7, no. 2, 2010.