Strict Liability dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Oleh: Catur Alfath Satriya, S.H.

Pada prinsipnya di dalam suatu sistem hukum apabila seseorang memperoleh kerugian dari suatu tindakan seseorang, maka orang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban baik secara pidana ataupun perdata. Pertanggungjawaban pidana bisa dilakukan dengan melaporkan perbuatan yang merugikan tersebut ke kantor polisi untuk ditindaklanjuti namun pertanggungjawaban pidana mempunyai kelemahan yaitu pada umumnya hanya menghukum pelaku yang biasanya berupa pidana penjara. Dalam hal ini korban yang dilanggar tidak mendapatkan ganti rugi dari pelaku sehingga tidak ada pemulihan dari akibat yang dilakukan oleh pelaku. Oleh sebab itu, agar korban mendapatkan ganti rugi dari pelaku korban bisa meminta pertanggungjawaban secara perdata yaitu dengan mengajukan gugatan perdata kepada pelaku untuk membayar ganti rugi yang dialami oleh korban atas akibat yang ditimbulkan oleh pelaku ke pengadilan.

Dalam konteks kasus lingkungan hidup pertanggungjawaban perdata bisa diajukan oleh korban kepada pelaku yang melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan melalui gugatan perdata ke pengadilan. Salah satu buku yang bisa dijadikan referensi terkait dengan pertanggungjawaban perdata dalam kasus lingkungan hidup adalah buku yang ditulis oleh Andri Gunawan Wibisana dosen dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang berjudul Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata.

Buku ini secara detail menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban perdata bisa diajukan dalam perkara lingkungan hidup dengan menggunakan dalil tanggung jawab mutlak atau yang lebih dikenal dengan strict liability. Strict liability pada awalnya diterapkan di Inggris pada putusan Rylands vs Fletcher pada tahun 1866. Putusan ini kemudian menjadi perbincangan di Amerika Serikat yang menimbulkan pro dan kontra. Pada akhirnya, pengadilan Amerika Serikat juga menerapkan strict liability dan mengadopsi strict liability ke dalam Restatment of Torts yang dibuat oleh American Law Institute untuk setiap kegiatan yang berbahaya (abnormally dangerous activity). Selain diadopsi ke dalam Restatement of Torts, pengaturan mengenai strict liability diatur di dalam produk legislasi di Amerika Serikat seperti Comprehensive Environmental Response, Compensation, and Liability Act (CERCLA). Dari sini dapat dilihat bahwa perkembangan strict liability di Amerika Serikat terjadi pada dua aras yaitu aras dari putusan pengadilan dan dari peraturan perundang-undangan.             

Strict Liability di Eropa Kontinental dan Indonesia

Di negara eropa kontinental strict liability diatur di dalam undang-undang (statutory strict liability). Penerapan strict liability dibatasai hanya yang diatur dalam undang-undang. Di Belanda pengaturan mengenai strict liability diatur di dalam kitab undang-undang hukum perdata Belanda. Sementara itu, di tingkat eropa pengaturan mengenai strict liability diatur di dalam Pasal III.1 Environmental Liability Directive (Directive 2004/35/CE). Di Indonesia strict liability pertama kali masuk melalui konvensi internasional yaitu Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage (CLC) tahun 1969 yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 1978. Kemudian, strict liability muncul dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU tentang Lingkungan Hidup dan UU tentang Ketenaganukliran. Di dalam UU Lingkungan hidup tahun 2009 kegiatan yang dapat dikenakan strict liability yaitu kegiatan yang menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.

Kritik Penerapan Strict Liability di Indonesia

Dengan pemaparan yang komperhensif dari penulis terkait dengan strict liability, buku ini juga memberikan kritik yang tajam terkait penerapan strict liability di Indonesia. Buku ini menjelaskan bahwa terdapat kesalahan mendasar dalam penerapan strict liability di Indonesia. Pertama, strict liability memerlukan adanya bukti Perbuatan Melawan Hukum. Dalam hal ini, buku ini memberikan beberapa contoh putusan seperti Putusan Walhi vs Freeport (2001), Walhi vs Lapindo Brantas (2007), dan Menteri LH vs Kalista Alam (2013) yang mana menurut buku ini penggugat masih belum bisa membedakan antara pertanggungjawaban PMH dengan strict liability. Penggugat tidak menjabarkan unsur-unsur strict liability dan masih mengaitkan perbuatan yang dilakukan tergugat dengan kesengajaan kesalahan yang dilakukan oleh tergugat. Padahal, di dalam strict liability tidak perlu penggugat menyatakan bahwa tergugat salah dalam melakukan suatu perbuatan. Kedua, strict liability sebagai pembuktian terbalik kesalahan (res ipsa loquituur). Dalam hal ini, buku ini memberikan contoh putusan yaitu Putusan Menteri LHK vs PT. National Sago Prima (2016) dan Putiusan Menteri LHK vs PT. Bumi Mekar Hijau yang secara implisit majelis hakimnya mengadopsi asas res ipsa loquituur di dalam pertimbangannya.

 

Strict Liability dalam Putusan Mandalawangi

            Secara eksplisit, buku ini menjelaskan bahwa Putusan Mandalawangi (2003) telah membuka jalan penerapan strict liability yang tepat dalam kasus lingkungan hidup. Di dalam pertimbangannya, majelis hakim di Pengadilan Bandung menyantumkan bahwa karena tergugat tidak menerapkan prinsip kehati-hatian maka tergugat dapat dikenakan pertanggung jawaban mutlak atau strict liability. Putusan ini juga secara tegas menyatakan bahwa tergugat bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor di kawasan hutan Gunung Mandalawangi. Pertimbangan di dalam Putusan Mandalawangi kemudian dirujuk oleh putusan dalam perkara Menteri LHK vs PT. Waringing Agro Jaya (2017).

Kelebihan dan Kekurangan Buku

Menurut penulis, kelebihan dari buku yang ditulis oleh Dr. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M adalah buku ini sangat komperhensif membahas mengenai pertanggungjawaban perdata dalam perkara lingkungan hidup. Buku secara rini menjelaskan model-model pertanggungjawaban yang saat ini berkembang di dunia seperti pertanggungjawaban bersama-sama, pertanggungjawaban alternatif, pertanggungjawaban industri, pertanggungjawaban berdasarkan pasar, dan pertanggungjawaban proporsional. Selain itu, buku ini juga menjelaskan bagaimana pembelaan yang bisa dilakukan oleh tergugat apabila digugat oleh penggugat dengan dalil strict liability.

Sementara itu, terkait dengan kekurangan dari buku ini menurut penulis buku ini kurang cocok dibaca oleh orang yang latar belakang pendidikannya bukan dari fakultas hukum. Buku ini lebih tepat menjadi buku kuliah dibandingkan buku bacaan untuk khalayak umum. Hal ini sesuai dengan pendapat penulis sendiri yang mengatakan bahwa buku ini pada awalnya ditulis hanya sebagai salah satu bab dari sebuah buku Hukum Lingkungan Indonesia. Sebagai praktis, menurut saya buku ini sangat penting untuk dibaca karena tidak hanya memberikan penjelasan yang normatif terkait dengan pertanggungjawaban perdata dalam perkara lingkungan hidup namun juga memberikan penjelasan secara rinci bagaimana dinamika keberlakukan dan penerapan pertanggungjawaban perdata dalam perkara lingkungan hidup di berbagai negara khususnya terkait dengan strict liability.